Senin, 05 Juli 2010

Percikan: Balada Rumah Simbah



















Pagi,
serasa seperti kemarin,
masih terasa tanah hangat, lembut di telapak kakiku
saat aku menapak pekarangan itu..
masih terasa aura kehangatan merambat memeluk rasaku..

“Tholee…, ojo ngidak-idak kebooonn..”

terngiang seruan mbah wedok,
ketika kaki kecilku melangkah cepat, berlarian
mengejar kinjeng yang terbang di atas kebun singkong..

Masih terasa,
bau asap dapur waktu pagi
saat mbah wedok dan mbokdhe mengukus nasi
dengan kukusan bambu,
memasak sayur dengan kwali gerabah.
fuuuh...!!
fuuuuhh...!!
suara khas pipa bambu yang ditiup simbah
untuk menambah nyala api kayu bakar..

Suara rancak, ramai,
percakapan di dapur waktu itu...
membuat perut makin lapar melilit...
”....sabar sik yo le.......”
kata mbokdhe menyejukkan..

(pada saatnya waktu makan sungguh nikmat dengan nasi dan sayur
Terhidang di atas tikar mendong...
Menu sederhana, yang menorehkan kenangan panjang...)

Siang,
burung bangau melayang meniti angin tinggi di langit
kicau beranjangan merobek kelengangan langit..
belalang coklat melompat-lompat menari-nari di antara tanaman singkong..
menegakkan harkat kehidupannya..
garengpung mendenging,
menyuarakan pergantian musim masuk kemarau.
burung alap-alap terbang melingkar lingkar
mencari sasaran dengan pekikan membelah awan..
kapuk randu pun melayang setelah buah keringnya memecahkan diri,
gumpalan kapuk membawa biji masak yang siap tumbuh
dan hinggap di bumi untuk melahirkan generasi baru.

Di dukuh Tasgunting terwujud
kearifan alam mengatur aliran kehidupan dengan keajaibannya

Di sana...
Teriakan perempuan di pematang sawah
Lantang, mengusir pipit kecil pemakan padi..
Bau sawah merongga, menyegarkan..

Oooo, ketentraman..

Malam,
Waktunya binatang malam berpesta,
Bernyanyi dalam paduan harmoni alam semesta..
Ramai suara jengkerik, gangsir
Bersahutan dengan bunga nangka tua yang melepaskan ledakan ..
Berdendang dalam keheningan.....

Jalanan sunyi,
Orang-orang pun beristirahat setelah seharian berkutat
Merenda kehidupan, merajut aliran nafas,
Menghargai hidup dengan cara mereka..

Disini,
Simbah mendongeng, dengan suara yang menentramkan..
Othak-othak ugel,
Pak duur,
Ande-ande lumut,
Bawang putih,

Kadang dengan diselingi tembang….

(masih seperti dongeng yang kemarin malam..
namun aku masih suka mendengarkannya..
bahkan jika ceritanya menyeramkan pun,
meski aku sangat tahu alurnya, masih saja badanku mengkerut
merapat dipelukan simbah..)


Begitulah simbah,

Aku kangen simbah,
Aku kangen rumah simbah yang selalu memberi ketentraman
Aku kangen dengan sedulur yang suka berkumpul di desa,

Epilog:

Di tempat jauh ini,
Rasaku selalu menelisik hingga ke sana,
(sungguh aku merasakan bau tanahnya.....)
Meskipun saat ini tempat itu tinggal kepingan,
Dan tak lama lagi pun habis tak berbekas...
Namun,
Pikiran, rasa, jaringan darah, nafasku..
Masih tertinggal di desa simbah...
Terukir, menjadi prasasti keabadian...

Desa simbah....
Ada dimana-mana...
Di hati kita para cucu, buyut cicit…sedulur waris....
Generasi penerus.....
Membangun keindahan demi keindahan,
Menjalankan jiwa satria utama...
Berbudi bawa leksana....
Hingga simbah pun bangga memiliki cucu, buyut, cicit, kita..

Do’a kami untukmu simbah, pakdhe, mbokdhe… sedulur..

(alfaatihah….)

Juli 2010

1 komentar:

  1. Very fantansic!
    Aku melu trenyuh om ... semoga doa ini di'ijabah. Amin Ya Robbal Alamin.

    BalasHapus